Sangiran, Warisan Dunia yang Terlupakan
Ist
Penggalian situs Sangiran (atas).
SRAGEN – Kawasan situs Sangiran merupakan salah satu objek wisata ilmiah yang sangat menarik untuk dikunjungi. Ada potensi pariwisata yang tersimpan di sini. Sayangnya, penilaian itu tidak mampu menarik minat wisatawan, baik lokal maupun asing.
Pada 2002 hanya 25.000 orang yang tercatat datang ke Sangiran. Jumlah itu didominasi pelajar dan mahasiswa. Lebih miris lagi, angka tersebut menunjukkan jumlah turis kian menurun dari tahun ke tahun. Beberapa tahun sebelumnya, situs prasejarah ini sempat menjadi primadona pariwisata khususnya bagi Kabupaten Sragen. Kala itu, pengunjung Situs Sangiran pernah mencapai 100.000 orang. Sejak krisis multidemensi, jumlah pengunjung pun terus berkurang.
Sangiran adalah daerah pedalaman yang terletak di lereng kaki Gunung Lawu, sekitar 17 km ke arah utara dari kota Solo. Secara administratif terletak di Kabupaten Sragen, dan sebagian terletak di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.
Luas wilayah situs yang sudah mendapat pengakuan internasional ini, kurang lebih 56 km2 yang mencakup tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, yaitu Kecamatan Kalijambe, Gemolong dan Plupuh serta Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.
Di kawasan ini, Anda bisa menemukan banyak informasi soal sisa-sisa kehidupan masa lampau. Selain itu, terdapat informasi lengkap tentang sejarah kehidupan manusia purba dengan segala hal yang ada di sekelilingnya. Dari soal tempat hidup, pola kehidupannya, satwa yang hidup bersamanya sampai proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 juta tahun yang lalu.
”Secara stratigrafis situs ini merupakan situs manusia purba berdiri tegak terlengkap di Asia yang kehidupannya dapat dilihat secara berurutan dan tanpa terputus sejak 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu yaitu sejak Kala Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah,” papar Elfrida Anjarwati, salah seorang arkeolog Museum Sangiran, kepada SH, Sabtu (27/9) siang, di sela press tour bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardhika.
Dia menjelaskan, berdasarkan penelitian Sangiran awalnya adalah sebuah bukit yang dikenal dengan sebutan ”Kubah Sangiran”. Kubah itu kemudian tererosi pada bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi. Pada depresi itulah, tersingkap lapisan-lapisan tanah secara alamiah. Dari sinilah para ahli mendapatkan informasi yang sangat lengkap tentang kehidupan masa lampau
Pada 1977 Sangiran dan sekitarnya ditetapkan sebagai daerah cagar budaya. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 070/0/1977, tanggal 5 Maret 1977. Selanjutnya keputusan itu dikuatkan oleh Komite World Heritage UNESCO pada peringatannya yang ke-20 di Merida, Mexico juga menetapkan kawasan Sangiran sebagai kawasan World Heritage (warisan dunia) No. 593.
Sayang, selain situs bersejarah, Sangiran nyaris tak punya aspek lain yang diandalkan untuk menarik pengunjung. Apabila Anda datang ke Sangiran, jangan berharap untuk mendapatkan suasana lingkungan yang indah dan tertata rapi. Harapan itu sebaiknya dibuang jauh-jauh. Karena, memasuki daerah Sangiran berarti memasuki daerah terbuka yang tandus dan kering (terlebih jika datang pada musim kemarau). Kehidupan Sangiran didominasi kegiatan penduduknya membuat handicraft dari batu. Hasil keterampilan mereka berupa kapak dari batu yang menjadi bawaan manusia prasejarah dulu.
Solusi
Kawasan Sangiran merupakan salah satu objek wisata ilmiah yang kini tengah dikembangkan oleh Pemda Sragen. Bupati Sragen H. Untung Wiyono, menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengucurkan dana miliaran rupiah untuk menjadikan Situs Sangiran menjadi salah satu objek wisata andalan yang siap dilempar ke pasaran.
Untuk mewujudkan hal itu, kata Untung Wiyono, ada beberapa langkah yang sudah dilakukan. Pertama dengan membenahi jalan masuk ke kawasan Sangiran, mendirikan menara pemantau berlantai tiga yang di atasnya dilengkapi dengan teleskop untuk melihat Kubah Sangiran. Tidak hanya itu, di lantai dasar juga tersedia home teater. Wisatawan yang datang akan disuguhi film terbaru tentang sejarah Sangiran dan manusia prasejarah pertama yang sudah berdiri tegak dengan durasi 20 menit.
Mereka yang ingin menonton film ini, hanya ditarik biaya murah, Rp 2.000. Di depan menara pantau, kini juga tengah dikerjakan tempat-tempat penginapan berupa home stay. Diharapkan, pembangunan home stay plus pengaspalan jalan, serta penataan kawasan Sangiran akan dapat memancing minat wisatawan nusantara dan mancanegara untuk datang ke sana melihat situs prasejarah terlengkap di Asia tersebut.
Selain itu, kata Bupati Sragen, pada tahun anggaran 2004 hingga 2005, pihaknya juga tengah mempersiapkan hutan prasejarah di kawasan Sangiran. Hutan yang diharapkan menjadi hutan wisata itu akan dibangun di wilayah Pagerejo, dengan luas lahan 230 hektar, yang kini hak kepemilikannya sudah di tangan Pemda Sragen. Di hutan prasejarah ini, Pemda Sragen ingin menciptakan suasana yang benar-benar menggambarkan masa lalu atau paling tidak akan menyerupai jurrasic park.
Setelah puas berkeliling dan melihat wilayah Sangiran lewat teleskop dan film, ada baiknya untuk datang ke museum Prasejarah Sangiran, yang terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Sragen atau kurang lebih 3 km dari jalan Solo-Purwodadi. Jaraknya tidak jauh dari lokasi menara pantau, kira-kira 4 km. Untuk dapat masuk ke sana, setiap orang hanya dikenakan biaya tiket Rp 1.500. Tetapi jika dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh, biaya tiket yang dikeluarkan tidak akan ada artinya. Karena, di museum itu pengunjung bisa melihat dari dekat 13.086 koleksi fosil manusia purba, binatang yang hidup pada masa itu, hingga peralatan yang digunakannya.
Kepala Museum Prasejarah Rus Mulya, koleksi yang ada tersimpan pada dua tempat, 2.931 di antaranya di ruang display, dan 10.875 di gudang penyimpanan. Masih menurut Rus Mulya, koleksi yang tersimpan di museum dikategorikan dalam kelompok cetakan fosil manusia, fosil hewan bertulang belakang (vertebrata), fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut, dan alat-alat batu.
Bahkan, untuk lebih memopulerkan situs prasejarah ini, Pemda Sragen, mulai tahun ajaran 2004-2005 akan memasukkan mata pelajaran tentang Sangiran dalam kurikulum pendidikan pelajar di seluruh Sragen. Pemda Sragen berharap, dengan pengenalan situs ini oleh kalangan pelajar dan mahasiswa, khususnya yang tengah menempuh pendidikan di Sragen, nama besar Sangiran tidak akan hilang dan mudah dilupakan. Selain itu, juga diharapkan lewat pelajaran itu para pelajar bisa menularkan apa yang diperolehnya kepada kawan, saudara, atau kenalannya. Karena, ada pepatah yang mengatakan sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang leher ke atas. (SH/Satoto Budi)
1 komentar:
Saya pengen tahu/nyoba ke kemukus tapi ga ada temen. Ada yg berminat temenin saya. Saya di bandung pria 55 tahun. Mail ke gently1us@yahoo.com
Posting Komentar